Kamis, 17 Maret 2011

Etika Mengirimkan SMS (Etika Terkait Penggunaan Tekhnologi)

Kali ini saya mau mengomentari tentang kebiasaan kebanyakan orang (termasuk saya) yang hobi berkirim sms. Coba pikirkan, dalam sehari, seberapa sering Anda mengirimkan dan membalas sms? Apakah Anda lebih suka mengirimkan sms daripada menelepon?

Memang, hari gini, sms dan menelepon sama murahnya. Dulu, orang lebih suka mengirimkan sms demi alasan pengiritan. Pasalnya, ongkos nelpon berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan ongkos sms. Tapi, kalau sekarang, saya pikir alasan itu sudah nggak jaman lagi. Nelpon udah murah banget, bahkan sering gratis. Sms pun demikian, jadi makin murah dan makin banyak gratisannya. Namun, tetap ada saat-saat di mana seseorang lebih memilih untuk ber-sms ria daripada bertelepon ria.

Berdasarkan analisis ala kadarnya yang saya lakukan, saya menyimpulkan bahwa alasan-alasan ketika seseorang memilih untuk mengirimkan sms dibandingkan menelepon adalah:

Hanya ingin menyampaikan pesan pendek/ melakukan konfirmasi.
Ketika kita hanya sekedar ingin menyampaikan pesan singkat, yang tidak membutuhkan balasan jawaban, kita akan cenderung mengirimkan sms ketimbang menelepon.
Misalnya, saya mau mengabarkan ke orang tua saya bahwa saya sudah sampai di tempat tujuan, maka saya tinggal mengirim sms dengan menulis “Udah nyampe nih”, dan biasanya ortu saya akan menjawab “Oke. Berdoa selalu”. Setelah itu, sms tidak perlu dilanjutkan kembali.
Atau, kondisi lainnya, saya mau memastikan janji yang sebelumnya sudah saya bikin dengan teman saya, maka untuk mengkonfirmasi saya biasanya akan mengirimkan sms “Nanti jadi kan jam 7?”, dan biasanya teman saya akan menjawab “Jadi”, setelah itu sms tidak perlu dilanjutkan kembali.

Memiliki keraguan untuk menelepon.
Ini biasanya terjadi pada seseorang yang takut untuk mengalami penolakan jika menelepon.
Misalnya, seorang cowok yang sedang pedekate ke cewek. Dia ragu-ragu untuk menelepon si cewek, kuatir kalo cewek itu lagi sibuk atau lagi punya acara sendiri, sehingga kalo nelpon pada saat yang nggak tepat kuatirnya malah si cewek jadi pundung alias bete. Biasanya, alternatif termudah yang akan diambil oleh si cowok adalah mengirimkan sms pertanyaan seperti “Hai, lagi ngapain?”, atau “How are you doing?”. Dengan begini, si cowok nggak perlu menelan resiko kena omel si cewek yang bete digangguin. Worst case dalam trik seperti ini adalah, sms-nya nggak dijawab-jawab. Tapi, itu masih lebih baik daripada kalo si cowok nelpon, si cewek menjawab “Hei! Bisa nggak sih kamu nggak ganggu saya?!”. Pasti pedih banget kan kalo digituin? Nah, makanya, sms menjadi jalan yang banyak dipilih oleh orang yang ragu untuk menelepon.

Kuatir jadi bertele-tele
Ini adalah kasus yang biasanya sering kita alami dengan orang yang dituakan, misalnya aja bos, pakde, senior, atau orang-orang lain yang kita tidak terlalu nyaman untuk berkomunikasi dengannya.
Misalnya, saya harus melaporkan suatu hal kepada bos saya. Sebenarnya, akan jauh lebih efektif dan menghemat waktu jika saya menelepon bos saya ketimbang mengirimkan sms kepadanya. Namun, jika saya menelepon, saya mengambil risiko untuk jadi mengobrol panjang lebar dengan bos saya. Padahal, mengobrol panjang lebar dengan bos adalah sesuatu yang saya hindari. Dengan mengobrol, maka bos saya jadi punya kesempatan untuk mengungkit hal lain yang enggan saya ungkit, memberikan saya tambahan tugas yang tidak saya inginkan, atau mengajak saya mengobrolkan hal yang bagi saya membosankan. Konsekuensinya, karena dia adalah orang yang dituakan (dia bos saya) dan sekaligus orang yang kita tidak terlalu nyaman berdekatan dengannya, kita jadi sulit untuk mengeluarkan uneg-uneg kita. Misalnya, dengan bos, kita nggak mungkin bilang “Saya males deh pak ngomongin hal ini. Kita ganti obrolan aja deh!”. Coba, kalo saya sampai ngomong seperti itu kepada bos saya yang gila hormat itu, bisa-bisa besoknya saya langsung dapet SP alias surat peringatan. Akhirnya, untuk menghindari hal ini, kita jadi cenderung mengirimkan sms demi menghindari bertele-telenya pembicaraan.

Mau bertanya hal yang jawabannya berupa angka atau sesuatu yang sulit diingat.
Misalnya saya mau bertanya nomor hape seorang kawan, maka yang akan saya lakukan adalah memintanya melalui sms. Dengan demikian, teman yang saya tanya cukup mengirimkan business card. Hal ini jauh lebih efektif ketimbang menelepon teman tersebut dan menunggunya memencet-mencet hape sebelum menyebutkan nomor yang kita inginkan. Plus, dengan menelepon, setelah diberitahu nomor melalui ucapan teman kita, kita masih harus melakukan konfirmasi ulang. Kuatirnya, nomor yang kita catat berbeda dengan nomor yang disebutkan oleh kawan kita tadi. Jadi, alasan efisiensi menyebabkan kita lebih suka mengirimkan sms jika jawaban yang kita kehendaki berupa angka atau sesuatu yang sulit untuk diingat.

Nah, itu kira-kira alasan kenapa seseorang memilih untuk mengirimkan sms ketimbang menelepon. Selain alasan-alasan itu, menurut saya seseorang sebaiknya menelepon ketimbang mengirimkan sms. Karena itulah, wajar jika saya merasa terganggu dengan orang-orang yang nggak mengikuti pakem umum ini dalam mengirimkan sms.

Misalnya, saya sebel banget kalau ada sms yang menanyakan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban singkat, namun kemudian kembali bertanya dengan pertanyaan lainnya, dan berulang-ulang.
Teman : Tolong sms-in nomornya Pak Wayan Donk dong...
Saya : (mengirimkan business card)
Teman : Pak Wayan itu Dosen Yang bikin web itu kan?
Saya : (mulai bete, karena seharusnya pertanyaan kedua ini digabung aja sama pertanyaan pertama supaya menghemat pulsa, tapi tetap menjawab) Iya.
Teman : Dosennya yang kayak gimana sih?
Saya : (bete, karena pertanyaan ketiga mulai menunjukkan kalau teman saya nggak mengikuti aturan ber-sms pada umumnya. Harusnya, sms hanya untuk pertanyaan yang menuntut jawaban singkat, bukan pertanyaan yang menuntut jawaban panjang lebar seperti ini, tapi masih tetap menjawab) Pake kacamata, orangnya tinngi dan rambutnya aga botak.
Teman : Bukannya itu Pak Arifien?
Saya : (berteriak AAARRGGHH! Dan mikir “Ngapain ni orang ngerecokin gw aja sih! Kalo nggak percaya ya mendingan ga usah nanya!”, tapi masih tetap menjawab) Bukan.
Teman : Ooh, gw pikir selama ini yang agak botak itu namanya Pak Ariefien. Btw, gimana kabar temen kita Bunga kita? Udah seminggu gw ga masuk.
Saya : (berteriak HIIIIIIIHHHHH! Nggak ada habisnya deh ni sms, dan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan terakhir)

Tau kan kenapa sms seperti itu menyebalkan?
Pertama : karena tidak efisien.
Sms pertanyaan sebaiknya langsung mencantumkan semua hal yang hendak ditanyakan dalam satu sms saja. Contoh : “Tolong smsin nomornya Pak Wayan dong! Dia Dosen Yang bikin web kan? Yg kayak gmn ya orangnya?”
Kedua : sms sebaiknya tidak menuntut jawaban yang berlarut-larut.
Contohnya, kalau sms di atas sudah dijawab oleh saya “Nomor Pak Wayan xxxx, iya, orangnya yang pake kacamata, tinggi dan rambutnya aga botak”, dan teman saya ternyata menyangsikan jawaban itu, dia sebaiknya langsung angkat telpon dan mengklarifikasi ketimbang balas bertanya lagi lewat sms. Pasalnya, kita sebaiknya tidak menyangsikan jawaban yang sudah dengan baik hati diberikan oleh kawan kita. Ketika mengirimkan sms pertanyaan, sebenarnya kita telah menuntut teman kita untuk membalas sms dengan mengurangi pulsanya. Dan untuk kebaikannya itu, kita seharusnya merasa berterima kasih. Jika kemudian ternyata masih ada lanjutan pertanyaan yang harus kita tanyakan, sebaiknya kita tidak kembali merepotkannya dan menghabiskan pulsa yang ia miliki. Tindakan yang paling tepat adalah menelepon sehingga teman kita itu tidak perlu mengurangi kembali pulsanya. Cukuplah kebaikan yang ia berikan kepada kita dengan menjawab pertanyaan kita melalui telepon. Tak perlulah ia sampai harus menjawab pertanyaan sambil menghabiskan pulsa melalui sms kembali.
Ketiga : sms sebaiknya hanya fokus ke satu hal saja dan tidak melebar ke hal-hal lain.
Sehingga, ketika pertanyaan terakhir telah dijawab, jangan melebarkannya ke pertanyaan lain seperti “Gimana kabar bos kita?”. Jika Anda hendak mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan beberapa hal, hindari sms dan manfaatkan telepon.

Sms yang berlarut-larut menandakan Anda adalah orang yang tidak peka dengan pulsa teman Anda. Terlebih, jika berlarut-larutnya sms disebabkan oleh Anda yang terus-menerus mengajukan pertanyaan kepada teman Anda. Sms berlarut-larut masih diperkenankan jika pembicaraan di dalamnya adalah untuk kepentingan kedua belah pihak.

Sms yang berlarut-larut lebih membetekan lagi jika ternyata alasan di balik kenapa teman kita itu terus-menerus mengirimkan sms adalah karena dia bisa mengirimkan sms gratis. Sementara, kita yang menjawab sms tersebut demi kepentingan dia kudu membayar. Disamping menunjukkan ketidakpekaan, sms seperti ini juga menunjukkan keegoisan dan sikap mau untung sendiri. Kalau saya dapet kasus temen yang kayak gini, bisa saya maki habis-habisan. Ngirit kok pake ngerepotin temen!

Bab 8 Jaringan Syaraf Tiruan

0 komentar:

Posting Komentar